Refleksi Debat Kandidat Bupati Aceh Singkil: Memilih Pemimpin Berdasarkan Kualitas, Bukan Sekadar Janji

Refleksi Debat Kandidat Bupati Aceh Singkil: Memilih Pemimpin Berdasarkan Kualitas, Bukan Sekadar Janji
Foto Refleksi Debat Kandidat Bupati Aceh Singkil: Memilih Pemimpin Berdasarkan Kualitas, Bukan Sekadar Janji

Newscyber.id l Debat kandidat bupati dan wakil bupati Aceh Singkil baru-baru ini menjadi sorotan publik, dengan berbagai penilaian terkait kemampuan pasangan calon (paslon) dalam menjawab persoalan krusial yang dihadapi kabupaten tersebut. Debat ini bukan hanya ajang unjuk visi dan misi, tetapi juga kesempatan untuk mengukur sejauh mana pemahaman serta kesiapan paslon dalam menangani permasalahan masyarakat.

Salah satu isu yang menjadi sorotan utama dalam debat tersebut adalah penanganan masalah stunting. Meski setiap paslon menampilkan visi dan misi yang mengesankan, ada kesan bahwa jawaban dari salah satu calon, Dulmusrid, terkesan kurang fokus dan relevan dengan masalah yang ditanyakan. Ketika ditanya mengenai upaya penurunan angka stunting, jawabannya melenceng jauh, bahkan terkesan lebih mengarah pada isu-isu umum yang tidak menyentuh akar persoalan secara mendalam.

Stunting adalah gangguan pertumbuhan pada anak yang disebabkan oleh kekurangan gizi dalam waktu panjang. Hal ini menjadi masalah serius, bukan hanya karena dampak jangka panjangnya pada kualitas generasi mendatang, tetapi juga karena kesadaran yang rendah mengenai pentingnya pola makan bergizi. Di sini, masyarakat Aceh Singkil membutuhkan pemimpin yang tidak hanya berbicara soal solusi yang muluk-muluk, tetapi juga memiliki pemahaman yang jelas dan berbasis data tentang persoalan yang ada.

Pernyataan Dulmusrid dalam debat, yang menyebutkan solusi seperti pemberian skill up, pemende sapo, sambungan listrik, dan santunan kematian sebagai bagian dari penanganan stunting, tidak memberi jawaban yang konkret. Terlebih lagi, kaitan antara stunting dengan santunan kematian, sambungan listrik, atau program lainnya tidak dijelaskan dengan logika yang mudah dipahami. Hal ini membuat masyarakat bertanya-tanya: Apakah calon tersebut benar-benar memahami masalah stunting, ataukah ini sekadar pengulangan janji yang tidak berbasis pada realitas yang ada?

Kekurangan pemahaman terhadap kondisi sosial masyarakat Aceh Singkil jelas terlihat di sini. Jika seorang calon bupati tidak mampu mengaitkan program-programnya dengan masalah utama yang dihadapi masyarakat, maka bagaimana dia dapat diharapkan menjadi pemimpin yang membawa perubahan? Stunting bukan hanya masalah kemiskinan, namun masalah pendidikan, pola pikir, dan pola hidup masyarakat yang perlu diubah.

Aceh Singkil membutuhkan pemimpin yang memiliki karakter tegas dan bijaksana, bukan hanya pemimpin yang mengikuti "desain" tertentu. Kita memerlukan kepala daerah yang memiliki pemahaman mendalam tentang kondisi lokal dan mampu merumuskan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pemilihan bupati adalah keputusan penting yang tidak boleh dilakukan secara asal-asalan, apalagi hanya karena pertimbangan simpati atau janji-janji kosong.

Oleh karena itu, warga Aceh Singkil harus lebih cermat dalam memilih calon pemimpin mereka. Jangan sampai salah memilih pemimpin hanya karena ekspektasi atau sekadar ikut-ikutan. Pemimpin yang tepat adalah yang mampu merespons tantangan dengan kebijakan yang tepat, memiliki integritas, dan tentu saja, memiliki kemampuan untuk memperbaiki dan memajukan daerah dengan cara yang lebih strategis dan berkelanjutan. Kita tidak ingin kembali ke belakang, tetapi harus bergerak maju untuk masa depan yang lebih baik.

(Ramlimanik)