KEBIJAKAN PERKEBUNAN DI ACEH SINGKIL: KETIDAKTRANSPARANAN DAN KETIDAKPATUHAN REGULASI MASIH MENJADI SOROTAN

KEBIJAKAN PERKEBUNAN DI ACEH SINGKIL: KETIDAKTRANSPARANAN DAN KETIDAKPATUHAN REGULASI MASIH MENJADI SOROTAN
Foto ilustrasi

Newscyber.id l Aceh Singkil, Jumat 4 April 2025 — Polemik kebijakan perkebunan di Kabupaten Aceh Singkil kembali mencuat ke permukaan. Ketua Komunitas Pemerhati Alam Singkil (KOPAS), Dio Fahmizan, mengungkapkan kekhawatiran mendalam atas dugaan ketidaktransparanan dan ketidakpatuhan perusahaan-perusahaan perkebunan terhadap regulasi yang berlaku. Hal ini mencuat setelah diterimanya balasan resmi dari Dinas Perkebunan dan BPN Aceh Singkil atas permintaan informasi yang diajukan KOPAS.

Surat-surat tersebut memperlihatkan sejumlah temuan yang menunjukkan lemahnya tata kelola perizinan dan pemenuhan kewajiban perusahaan. Di antaranya, tidak tersedianya salinan Izin Usaha Perkebunan (IUP), ketiadaan data kebun plasma, hingga belum adanya perusahaan yang memenuhi kewajiban menyediakan 20% lahan untuk kebun plasma bagi masyarakat.

Sementara itu, dari sisi pertanahan, BPN Aceh Singkil menyatakan bahwa data Hak Guna Usaha (HGU) untuk lahan di atas 25 hektar berada di bawah wewenang pusat. Hal ini menghambat akses publik terhadap informasi legalitas dan pemanfaatan lahan oleh perusahaan perkebunan di daerah.

Masalah ini bukan hanya administratif, tapi juga menyentuh aspek keadilan sosial dan lingkungan. Dalam konteks Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh Singkil, pengelolaan perkebunan semestinya memperhatikan keberlanjutan serta distribusi manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal. Ketidakhadiran data kebun plasma dan minimnya pengawasan menimbulkan kekhawatiran akan potensi eksploitasi sumber daya tanpa kontribusi nyata bagi warga sekitar.

Menanggapi situasi ini, KOPAS mendesak pemerintah daerah dan instansi terkait untuk:

  • Membuka akses informasi perizinan secara publik.
  • Mengawasi pelaksanaan kewajiban pembangunan kebun plasma.
  • Memberikan sanksi tegas kepada perusahaan yang melanggar aturan.
  • Mendorong transparansi data HGU dari Kementerian ATR/BPN.
  • Menyesuaikan aktivitas perkebunan dengan RTRW untuk perlindungan lingkungan dan masyarakat.

Dio Fahmizan juga mengajak berbagai elemen masyarakat, termasuk akademisi dan organisasi sipil, untuk turut mengawal isu ini demi menjaga hak masyarakat dan kelestarian lingkungan di Aceh Singkil.

(Ramli manik)